Main Mata Pengusaha Miras dan Warga, Persulit Penegakan Perda

Source : Dokumentasi Pribadi

Sleman – Penegakan Peraturan Daerah (Perda) terkait minuman beralkohol terus menghadapi berbagai tantangan di lapangan.Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kabupaten Sleman kerap berbenturan dengan masyarakat saat merazia minuman keras, sebab penjual bermodal besar kerap memberi iming-iming bantuan sosial kepada warga setempat.

“Kendala kami adalah ketika lingkungan itu sudah dikondisikan oleh pemilik usaha, seperti memberikan sembako atau bantuan lainnya. Ketika Satpol PP akan melakukan penertiban, masyarakat justru membela pemilik usaha tersebut,” ujar Sri Madu Rakyanto, Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan Satpol PP Sleman, Senin (04/11/2024). Sri Madu Rakyanto menekankan bahwa penegakan Perda memerlukan dukungan aktif dari masyarakat, bukan hanya sekadar menuntut pemerintah untuk bertindak. 

Bantuan dari pelaku usaha membawa manfaat langsung untuk warga terutama yang berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, Satpol PP mengingatkan bahwa manfaat jangka pendek ini dapat berdampak buruk dalam jangka Panjang. Satpol PP mengakui bahwa dukungan warga sangat penting untuk keberhasilan operasi penertiban ini.

Pemerintah Kabupaten Sleman terus menunjukkan komitmennya dalam mengatur dan mengawasi peredaran minuman beralkohol. Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 2019 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol serta Pelanggaran minuman oplosan, diiringi Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 10 tahun 2023, Sleman menetapkan regulasi ketat terhadap penjualan minuman beralkohol.

Peraturan menetapkan larangan peredaran minuman beralkohol di area pemukiman, minimarket, tempat ibadah, Lembaga Pendidikan, dan fasilitas Kesehatan dengan jarak 500 meter dari lokasi toko. Penjualan minuman beralkohol hanya diperbolehkan dihotel Bintang 3 keatas, restoran Bintang 3, bar, tempat karaoke serta klub malam yang memenuhi syarat.

Sebagai salah satu contoh pelanggaran Perda Sleman, Outlet 23 yang sebelumnya telah banyak ditutup karena tidak berizin, kini diketahui bahwa masih ada yang beroperasi di Jalan Affandi No.23, Karang Gayam, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, dan melanggar peraturan daerah dengan berdekatan dengan tempat ibadah sejauh 140 meter. Berbeda dengan Liquid Bar and Kitchen, HW dragon Bar Jogja, dan Boshe Bar yang telah mengantongi izin resmi yang membuktikan bahwa menjalankan usaha hiburan bisa dilakukan jika sesuai dengan Peraturan Perda Sleman. Tindakan nekat Outlet 23 ini tentu menjadi sorotan dan perlu adanya tindak tegas oleh pihak berwenang untuk meningkatkan keamanan serta ketertiban di wilayah Sleman.

Untuk mencegah toko miras ilegal beroperasi kembali, Satpol PP melakukan pemantauan secara berkala. Apabila ditemukan toko yang kembali beroperasi setelah disegel, maka akan dilaporkan ke pihak yang berwenang untuk ditindak lanjuti karena telah melanggar peraturan pidana dengan membuka segel secara ilegal dengan ancaman penjara 2 tahun 8 bulan.

“Dalam penegakan ini, masyarakat diharapkan melaporkan pelanggaran, mendukung penertiban, dan mengingatkan pihak-pihak yang melanggar. Tokoh masyarakat juga punya peran penting dalam menyadarkan lingkungan terkait bahaya minuman beralkohol,” tambahnya.

Source : Dokumentasi Pribadi

Muhammadiyah juga menyuarakan keprihatinannya terhadap maraknya peredaran minuman keras di berbagai wilayah Sleman, terutama di sekitar sekolah dan pemukiman penduduk. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dalam memberantas peredaran miras yang dianggap mengancam generasi muda dan merusak tatanan sosial.

Dalam wawancara dengan Edi Prajaka, perwakilan Muhammadiyah mengungkapkan bahwa peredaran miras semakin mudah diakses, baik secara online maupun offline. Harga yang terjangkau dan minimnya edukasi menjadi faktor pendorong meningkatnya konsumsi miras, terutama di kalangan remaja.

“Kami khawatir dengan dampak negatif miras terhadap generasi muda. Selain merusak kesehatan, miras juga dapat memicu tindakan kriminal seperti tawuran dan kecelakaan lalu lintas,” ujar Edi Prajaka.

Lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu penyebab maraknya peredaran miras. Sanksinya yang dianggap ringan dan kurangnya pengawasan ditingkat bawah membuat pelaku merasa aman untuk terus beroperasi. 

“Perlu sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan masyarakat untuk bersama-sama memberantas peredaran miras,” tegas Edi Prajaka. 

Muhammadiyah telah menjalankan sosialisasi masif melalui ceramah, diskusi, serta penyebaran informasi di masjid dan sekolah. Selain itu, kampanye melalui media sosial juga menjadi salah satu cara efektif dalam menjangkau generasi muda.

Edukasi juga dilakukan melalui kerja sama dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah, di mana guru Bimbingan Konseling (BK) memberikan pemahaman kepada siswa mengenai dampak buruk konsumsi miras.

“Kami melibatkan guru Bimbingan Konseling (BK) untuk mengedukasi peserta didik, khususnya di lembaga pendidikan Muhammadiyah,” tambahnya.

Muhammadiyah juga aktif mendorong pemerintah memperketat kebijakan terkait miras. Advokasi ini diharapkan mengurangi aksesibilitasnya di masyarakat. Dalam upaya ini, Muhammadiyah bekerja sama dengan berbagai pihak seperti MUI, masyarakat sipil, dan tokoh agama untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya miras.

Menurut Muhammadiyah, salah satu akar masalah meningkatnya konsumsi miras adalah lemahnya pendidikan agama dan pengaruh lingkungan. Remaja yang kurang memahami nilai agama dan terpapar lingkungan negatif lebih rentan mengonsumsinya. Oleh karena itu, dalam kurikulum pendidikan agama, Muhammadiyah secara khusus membahas tentang bahaya miras, ditambah kajian Islam mingguan dan penggunaan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi.

Organisasi ini juga mengadakan kegiatan pencegahan seperti lomba karya tulis, olahraga, dan rehabilitasi bagi mereka yang terjerat miras. Muhammadiyah membina remaja melalui organisasi otonom seperti IPM dan IMM. 

Muhammadiyah menegaskan pelarangan mutlak terhadap khamr atau minuman beralkohol, sesuai ajaran Al-Qur’an. Selain advokasi pelarangan, Muhammadiyah fokus pada edukasi untuk membangun kesadaran masyarakat.

“Ajaran agama jelas melarang khamr. Pengembangan karakter menjadi kunci, karena karakter dibentuk melalui pikiran, kata, dan tindakan,” ungkap narasumber. Penguatan spiritual dan empati juga diutamakan untuk mendorong perilaku positif.

Muhammadiyah mengajak masyarakat luas bersama-sama mengatasi dampak buruk miras. “Tidak ada minuman keras yang membawa kebaikan. Mari kita sosialisasikan hal ini tanpa memaksakan pendapat,” tutupnya.

Dengan berbagai langkah tersebut, Muhammadiyah optimis mampu menciptakan generasi yang lebih sadar dan bebas dari pengaruh miras.

Dokumentasi