Dampak Miras Ilegal terhadap Pariwisata dan Ekonomi Yogyakarta

Yogyakarta – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak bisa dilepaskan dengan industri pariwisatanya. Orang dari berbagai daerah, dari berbagai negara kerap singgah ke DIY untuk melepas penat, berlibur, atau bersenang-senang.

Tak ayal, selain wisata sejarah, seni budaya, wisata alam, hiburan malam dengan pelengkap minuman kerasnya pun kerap menjadi daya tarik. Menjaga keseimbangan antara nilai sosial budaya lokal, dengan kepentingan bisnis dinilai jadi bagian penting. 

“Miras memiliki dua sisi yang perlu dikelola dengan bijak. Penting regulasi yang ketat dalam mengatasi persoalan ini sekaligus menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan perlindungan nilai sosial budaya lokal,” ungkap Ketua DPD Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (GIPI DIY), Bobby Ardyanto Setyo Ajie, Sabtu (11/11/2024).

Bobby menyatakan bahwa keberadaan miras legal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan asing, khususnya dari Eropa, yang menjadikan konsumsi alkohol sebagai bagian dari kebiasaan sehari-hari. Namun, ia menekankan pentingnya regulasi yang jelas dan penegakan aturan yang konsisten untuk melindungi masyarakat lokal dari dampak negatif miras ilegal. 

“Penegakan aturan dan evaluasi rutin dari pemerintah sangat diperlukan untuk memastikan peredaran miras tetap terkendali,” tegas Bobby.

Ketua GIPI DIY, Bobby Ardyanto Setyo Ajie menanggapi terkait dampak miras ilegal terhadap pariwisata di Yogyakarta (Nama media /SHALITA UMMI GAISANI)

Antara miras legal dan ilegal

Dikatakan Bobby saat ini telah ada regulasi yang mengatur peredaran miras ini. Salah satu poin pentingnya adalah terkait perizinan edar miras di hotel berbintang. “Untuk hotel berbintang 4 dan 5, diwajibkan memiliki bar dan penanggung jawab alkohol. Kalau tidak, maka izin operasionalnya tidak akan keluar,” jelasnya. 

Hal tersebut menjadi bagian dari langkah pengawasan yang lebih ketat terhadap peredaran miras legal di sektor pariwisata. Ia menambahkan bahwa di beberapa hotel berbintang lainnya, kategori minuman beralkohol yang diizinkan dijual disesuaikan dengan kapasitas alkoholnya. 

“Misalnya di butik hotel seperti kami, hanya boleh menjual tipe C, seperti bir dengan kadar alkohol maksimal 5 persen. Kalau di atas itu, seperti wine atau minuman keras lainnya, biasanya hanya ada di hotel bintang 4 atau 5,” ujar Bobby.

Menurut pandangan Bobby, untuk peredaran miras ilegal bisa merusak citra Yogyakarta sebagai destinasi wisata budaya yang ramah keluarga. Terlebih faktor keamanan dan kenyamanan menjadi salah satu kunci penting untuk pariwisata. Berdasar catatannya pengaruh citra kurang baik tersebut telah berimbas ke sejumlah destinasi wisata. 

Dalam upaya menjaga nilai sosial budaya, GIPI DIY telah mengedukasi pelaku usaha agar hanya menjual miras di tempat berizin. Selain itu, GIPI DIY mendorong masyarakat, terutama remaja, untuk memahami pentingnya konsumsi alkohol yang bertanggung jawab. “Edukasi adalah kunci. Regulasi saja tidak cukup tanpa kesadaran masyarakat,” ucap Bobby.

GIPI DIY, sebagai asosiasi yang menaungi pelaku usaha pariwisata, juga melakukan pengawasan internal di antara anggotanya. Pengawasan preventif oleh pemerintah daerah juga jadi bagian penting, baik di tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi. 

“Aturan itu jangan menunggu masalah besar baru ditegakkan. Preventif harus dimulai dari hal-hal kecil, karena sebenarnya semua pihak sudah tahu praktik ini ada. Hanya saja, sering kali reaksi dari masyarakat yang baru memicu tindakan,” ungkapnya. 

Bobby berharap bahwa pengawasan yang lebih ketat dan edukasi kepada pelaku usaha dapat menjadi contoh regulasi yang baik bagi daerah lainnya. Dengan demikian, peredaran miras dapat dikelola dengan bijak tanpa merusak citra Yogyakarta sebagai destinasi wisata budaya yang ramah dan aman bagi semua kalangan.

Kontribusi miras terhadap pajak minim

Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y. Sri Susilo mengatakan kontribusi pajak dari industri miras sangat kecil, jika dibandingkan dengan produk lain seperti, rokok. “Produksi miras di Indonesia terbatas dan diatur ketat. Artinya, kontribusi pajaknya juga sangat terbatas,” ujar Susilo. 

Susilo menuturkan biaya sosial yang timbul akibat konsumsi miras, seperti penurunan produktivitas tenaga kerja dan dampak kesehatan, dinilai cukup signifikan. Konsumsi berlebihan yang berujung mabuk bisa berdampak buruk.

“Orang yang mabuk dan tidak bekerja tentu akan mengurangi produktivitas dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi,” ujar Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (ISEI DIY) itu.

Meski begitu, ia menilai untuk kebijakan pelarangan peredaran miras secara penuh juga perlu ditimbang matang-matang. Pasalnya, ada kemungkinan lebih buruk lainnya. “Jika dilarang sepenuhnya, khawatirnya memang akan muncul pasar gelap dan minuman oplosan yang jauh lebih berbahaya,” ungkapnya.

Susilo lebih condong pada pemberlakuan pajak tinggi untuk miras, untuk mengurangi konsumsi miras. Meski demikian, tidak ditampiknya efektivitas kebijakan ini masih menjadi perdebatan. “Di banyak negara, pajak tinggi diterapkan untuk menekan konsumsi miras, tetapi hasilnya bervariasi. Produk yang dikenai pajak tinggi seperti rokok tetap banyak dibeli,” ujarnya.

Dokumentasi