Kota pelajar, julukan yang sudah melekat untuk Yogyakarta sebagai tempat tujuan banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia untuk menempuh pendidikan. Dibalik daerah yang melahirkan banyak intelektual, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga memiliki sisi lain. Sisi yang bisa dibilang gelap.
Peredaran miras yang tidak terkontrol beberapa waktu terakhir, menjadi potret hitam Yogyakarta. Potensi perputaran uang yang besar dan ‘mudah’ menjadi faktor maraknya peredaran miras. Dari pelaku usaha besar penjual miras bermerek hingga penjual miras oplosan, rumahan ada di Yogyakarta.
Di sudut utara Yogyakarta, tepatnya di daerah Pandowoharjo, Sleman salah satu penjual miras menceritakan usahanya. Faktor pendapatan yang besar tidak ditampiknya, menjadi alasan utama ia berjualan hingga saat ini. Jutaan rupiah bisa ia kantongi dalam waktu satu bulan, bahkan hampir lima kali lipat dari Upah Minimum Regional (UMR) di DIY.
“Bisnis ini sangat menguntungkan. Per satu botol yang saya jual, saya bisa ambil keuntungan sebesar Rp20.000 – Rp30.000 tergantung merk dan kelangkaan jenis minuman itu. Kalau di total-total, perbulan saya bisa untung Rp8.000.000 – Rp10.000.000-an lah,” ungkapnya.
Jeruji besi pun tidak membuatnya gentar. Alasan klasik, ekonomi, menjadi penyebabnya. Sempat menginap di hotel prodeo, membuatnya ‘belajar’ untuk lebih berhati-hati ketika menjajakan kembali miras.
“Pernah ketangkep sekitar dua tahun lalu. Setelah bebas ya kembali jualan. Masa bisnis sudah berjalan dan sudah memiliki pasar tidak dilanjutkan, rugi dong, tapi lebih hati-hati, belajar dari pengalamanlah,” ujarnya.
Dalam menjalankan bisnisnya, pria yang berusia sekitar 20an tahun tersebut mencoba menangkap segmen usia di atas 20 tahun. Ia enggan menjual minuman keras untuk anak dibawah umur. Dari hati nuraninya, ia menyadari barang yang ia jual bisa berdampak buruk.
“Saya tidak mau menjual ke remaja yang belum cukup umur karena kasihan, masa depannya masih panjang. Saya tahu menjalankan bisnis ini sudah salah, tetapi saya tidak mau menjadi orang yang lebih salah lagi,” ungkapnya.
Miras Oplosan, Modal Kecil, Keuntungan Tak Main-main

Penjual miras di daerah Parangtritis, Bantul lebih memilih menjual miras oplosan. Dibanding menjual miras bermerk, menjual miras oplosan selain menguntungkan, tidak memerlukan modal besar. Dari modal Rp500.000, ia bisa mendapat keuntungan Rp3.000.000 – Rp8.000.000 per bulan. “Tergantung ramai tidaknya juga satu bulan, tapi kalau dibandingkan lebih sering ramai. Saya jualnya per botol satu liter itu harganya Rp50.000,” ungkapnya.
Selain berbicara keuntungan, ia mengaku dengan menjual miras oplosan bisa dijangkau masyarakat kelas bawah. Disebutnya miras yang ia jual dari racikannya sendiri. Bahan dasar alkohol 70 persen yang didapat dari apotek, ia racik dengan bahan lain, seperti Autan, Spiritus, dan bahan lainnya yang dapat menimbulkan efek mabuk kuat.
“Awalnya saya meracik minuman oplosan ini untuk konsumsi pribadi, tapi banyak teman saya yang menginginkannya karena katanya enak. Yaudah, akhirnya saya produksi lebih banyak lagi untuk dijual ke teman-teman,” ujarnya.
Penjual miras tersebut tidak menampik, oplosan buatannya pernah menelan korban jiwa. Kejadian tersebut sekitar dua tahun lalu. Sempat dirawat di rumah sakit, korban akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya ketika dirawat. “Korbannya pacar anak saya waktu itu. Dia mau nyoba, saya kasih satu botol. Meninggal di rumah sakit karena overdosis dan komplikasi,” ungkapnya.
Kejadian itu memang sempat menjadi penyelasan baginya, tapi tidak membuat jera. Peluang pasar yang besar, termasuk di kalangan anak muda sangat menggiurkan untuknya. Tak ragu, ia pun melayani pembeli dibawah umur, dari pelajar SMA bahkan SMP. “Ya tetep saya layani, yang penting bukan anak SD. Saya rasa mereka juga sudah tahu kalau barang ini itu tidak baik, harusnya jangan dibeli. Saya tu yang penting dapat uang,” kata dia.
Penjual Dibawah Umur Hingga Dewasa

Bisnis miras ternyata ditangkap juga oleh salah satu mahasiswa di Yogyakarta. Salah seorang pria yang masih duduk dibangku kuliah dan baru menempuh semester 1 menjual miras, karena alasan keuntungan yang besar.
“Dulu watu awal lulus SMA saya bingung, tidak tahu apa kegiatan yang bisa saya lakukan. Nah, pas banget teman saya ada yang nawarin saya untuk jadi penjual arak bali, kebetulan bapaknya distributor,” ungkapnya.
Setelah berpikir ia pun mengambil peluang itu. Ia mengaku bisa mendapat keuntungan Rp10.000 – Rp20.000 per botol. Berawal dari mulut ke mulut, ia pun berhasil mendapat pelanggan tetap. “Keuntungannya lumayan,” ujar dia.
Bisnis haram ini ia jalankan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Bahkan ia tidak siap jika ibunya
mengetahui bisnisnya selama ini. Ia takut jika ibunya tahu, ibunya akan kecewa. Disisi lain, ia mengaku butuh uang lebih.
“Saya jadi penjual ini tanpa sepengetahuan orang tua, jadi saya berjalan sendiri. Saya juga tidak ingin ibu saya tahu pekerjaan saya, takut ibu marah. Disisi lain saya melakoni pekerjaan ini agar
dapat uang tambahan, saya tidak ingin merepotkan orang tua saya,” ujarnya dengan wajah
tertunduk.
Konsumsi Miras untuk Acara Hingga Pacu Keberanian

Gayung bersambut, banyak alasan orang membeli miras. Mulai dari pelengkap dalam sebuah acara hingga memacu keberanian. Salah satu konsumen miras mengaku biasanya mengonsumsi miras, saat ada acara. “Zaman sekarang sebuah acara itu rasanya tidak nikmat jika tidak ada minuman kerasnya. Wajib banget ada minuman supaya acara lebih meriah,” ungkapnya.
Seorang narasumber lain yang kami temui di daerah Cokrowijayan, Gamping mengatakan bahwa setiap nongkrong dengan rekannya, minimal ada satu botol miras. Ia berdalih, miras yang dikonsumsi sebagai penghangat tubuh. “Kalau nongkrong gitu ya harus ada minuman, apalagi kalau malam, buat menghangatkan diri,” ujarnya.
Tidak ditampik, minuman keras juga untuk memacu adrenalin jika terpancing gesekan dengan kelompok lain. “Kadang waktu kita nongkrong suka ada kumpulan pemuda lain yang rese. Nah kita sebelum bertarung biasanya minum dulu supaya di medan pertempuran, kita tidak
takut,” tambahnya.